Sabtu, 03 Juni 2017

Cahaya di Raudlatul Makfufin

Ada yang berbeda dengan Pesantren Raudlatul Makmufin di Kampung Jati, Kelurahan Buaran, Kecamatan Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Pesantren ini lebih berfokus kepada para penyandang disabilitas, khususnya tuna netra.
Pesantren ini tentunya juga berfokus kepada pendidikan keagamaan untuk para santrinya. Para peserta didik yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia ini mempelajari Alquran Braille dari tingkat dasar sampai tingkat instruktur, bahkan hingga pembinaan kajian keislaman lainnya.
Pesantren yang berdiri sejak 1980an ini juga mempelajari berbagai keterampilan lainnya, seperti komputer dan bahasa asing untuk membekali para peserta didiknya agar siap bersaing selepas menuntut ilmu di pesantren tersebut. 











Sabtu, 23 Januari 2016

Ceng Beng “Tradisi Berkumpul di Makam Leluhur”




Asap dan aroma dupa menyatu menjadi satu di minggu pagi, ratusan orang berduyun-duyun dari segala penjuru datang dan berkumpul di pemakaman Tanah Cepe, Tangerang. Acara tahunan untuk menyenangkan leluhur siap di gelar komplek pemakaman cina tersebut, Ceng Beng.
Ceng Beng atau sembahyang kubur merupakan ritual tahunan yang penting bagi etnis Tionghoa selain Imlek. Konon menurut cerita rakyat, asal mula ziarah kubur atau Ceng Beng ini berawal dari zaman kekaisaran Zhu Yuan Zhang, pendiri Dinasti Ming (1368-1644 M). Ceng Beng merupakan wujud nyata umat Konghucu mengekpresikan perasaan berbakti kepada para leluhur. Mereka membersihkan dan sembahyang di makam leluhur mereka serta menyajikan hidangan yang disukai almarhum dikala masih hidup.
Ritual Ceng Beng juga merupakan acara berkumpulnya keluarga besar, karena mereka yang pergi jauh atau merantau akan kembali pada saat Ceng Beng Tiba. Ceng Beng pada umumnya jatuh pada tanggal 5 April, dan setiap tahun kabisat.

Teks  dan Foto : Anhar Rizki Affandi








Kamis, 21 Januari 2016

Ritual Anjing Petarung



Minggu pagi, di Desa Kebon Pala, Sumedang, Jawa Barat, suara anjing-anjing petarung saling bersahutan bersiap menyambut ritual akhir pekan, “Adu Bagong”. Adu Bagong adalah sebuah tradisi dimana seekor babi dimasukan ke dalam arena tanah lapang dengan pagar yang dikelilingi pagar anyaman bambu- lalu diadu dengan 2 hingga 4 ekor anjing.
Tradisi ini bermula sekitar 1960-an dimana banyak babi hutan yang merusak sawah dan perkebunan milik warga. Bermula dari kemarahan, warga melatih anjing untuk memburu babi-babi yang telah mengusik kehidupan mereka. Babi yang tertangkap tak langsung dibunuh, namun dibawa ke kampung untuk diadu dengan anjing.
Di sekitar arena pertarungan, warga dengan antusias menyaksikan pertarungan, melihat anjing-anjing petarung dengan ganasnya menghabisi babi hutan si hama bagi sawah dan perkebunan mereka. Tradisi ini bukan berarti tak ada tentangan dan kecaman, banyak pihak yang meminta tradisi ini untuk dihentikan karena dianggap sebagai salah satu bentuk penyiksaan dan pembantaian terhadap binatang.
Babi itu pun terkapar, anjing-anjing petarung terus menyalakkan suaranya meminta ritual untuk kembali diteruskkan.

Foto & Teks : Anhar Rizki Affandi









Selasa, 29 Desember 2015

Damai dari Anak Utara

Sore, bau amis dan panas menyengat masih terasa di ujung utara Jakarta, Clincing tepatnya. Deru tronton dan ombak menjadi irama yang syahdu saban hari. Di tepi pantai, anak-anak utara dengan bertelanjang dada bersiap menikmati "kolam raksasa" yang tersedia. Hamparan sampah di lautan seakan menjadi wahana permainan tambahan seru di ujung hari.

Tawa dan canda berdendang disela kegembiraan anak-anak utara. Laut seakan menjadi kawan akrab nan setia bagi mereka sedari dulu. Meski kini, laut yang ada tak seindah cerita kakek-nenek mereka. Tapi, tanpa kita sadari dari laut mereka menyampaikan pesan damai bagi warga kota yang semakin gila tergilas laju dunia.

Foto dan Teks : Anhar Rizki Affandi